Salah Kaprah Dalam Pemasaran TV 3D

Perkembangan stereo (3D) photo/film, sekian kali mengalami naik turun. Menurut pendapat saya karena cara pemasaran yang keliru dan menyesatkan.

  • Pertama, gambar stereoskopis memang memberikan sensasi kedalaman tapi bukan menghasilkan visual 3D sebenarnya. Namun, cara pemasaran dari gambar stereo dan alat-alatnya selalu mengaitkan-kaitkan dengan benda yang keluar dari layar.
  • Kedua, bagi paham dengan konsep gambar stereo, maka benda keluar (pop-up) adalah ilusi kedalaman ataupun keluar dari bingkai gambar yang terbentuk di dalam otak manusia bukan pada perangkat/layar. Otak manusia lah yang mengolah perbedaan paralaks dari dua gambar yang nyaris serupa itu menghasilkan sensasi kedalaman gambar. Itu saja!
https://www.timetoast.com/timelines/history-of-television-timeline--2
https://en.wikipedia.org/wiki/3D_film

Kesalahan informasi dan strategi pemasaran ini berulang-ulang dilakukan hingga sampai pada kejenuhan tercapai. Masih ingat dengan poster-poster film 3D di era kejayaan  film 3D? Hampir semua poster film 3D lama dengan gaya pop-up – keluar dari layar. Untunglah film-film 3D sekarang tidak begitu lagi posternya. Film-film 3D sekarang sebagai opsi cara menonton saja, apakah ingin sensasi kedalaman atau tidak.

technology-3d-moviesSS.jpg

Begitu juga TV 3D yang berhenti diproduksi pada tahun 2017. Strategis pemasaran TV 3D (mulai popular di 2010) masih saja dikaitkan dengan benda keluar dari layar. Pemasaran TV 3D malah diperburuk dengan menekankan fitur konversi otomatis dan instan: gambar biasa (2D) menjadi 3D. Dimana hasil konversi tidak pernah realistis. Gaya penjualan dengan gambar-gambar pop-up dan ditambah penekankan pada fitur konversi membuat salah kaprah tentang gambar stereoskopis.

3dcontv

Sebaiknya TV 3D dijual dengan  pemasaran yang sesuai dengan fungsinya yaitu TV berfitur stereoskopis, tidak lebih tidak kurang. Ini sama seperti perangkat Hi-Fi/sound system, tidak perlu iklan yang gencar menekankan kemampuan suara stereo (memiliki kanal suara Kiri dan Kanan). Namun, nyaris semua perangkat audio sekarang, mulai dari tingkat high-end di rumah hingga perangkat jinjing seperti smart phone, semuanya mampu bersuara stereo. Tanpa perlu pusing di marketing, apakah pembeli (pendengar suara) paham/ingin menikmati suara stereo atau tidak. Semua perangkat audio terjual (harus) dengan sistem stereo – by default.
(psst…… asal tau aja, banyak orang ngga peduli dengan suara kiri dan kanan yang mesti didengarkan bersamaan dengan dua telinga satu kepala)


Syaiful

 

 

Tinggalkan komentar

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑